Karya : Adnan
Mardiyansyah Putra
Pada suatu ketika di
Desa Kanigaran, hiduplah seorang wanita paruh baya biasa dikenal dengan nama
Ibu Siti yang hanya tinggal berdua bersama anak sulungnya bernama Adit di rumah
tua yang beralaskan tanah dan beratapkan jerami. Tak jarang hewan-hewan kecil
seperti tikus dan kecoa menemaninya disaat malam tiba. Dikala hujan mengguyur, tetes demi tetes hujan
membasahi rumahnya beserta dinginnya angin malam pun turut menemani tidurnya.
Tapi itu semua tak mengurangi semangat hidupnya disaat dia harus menjadi tulang
punggung keluarga untuk menghidupi dan menafkahi anaknya yang bersekolah di
jenjang sekolah dasar.
Setiap harinya Ibu Siti
selalu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan anaknya dengan lauk seadanya
dan menyiapkan jamu racikannya sendiri untuk dijualnya keliling desa. Dengan
sepeda tuanya dia mengayuh sekuat tenaga demi sesuap nasi. Sebelum memulai
berjualan jamu, terlebih dahulu dia mengantarkan Adit ke sekolah. Sesampainya
disekolah, tiba-tiba Adit bertanya sambil turun dari sepeda “Bu, ada yang
lupa?”. “Memangnya apa dit yang kelupaan?” tanya Ibu Siti. Aditpun menjawab
dengan mengarahkan jari telunjuknya ke keningnya, lalu dengan sigap Ibu Siti
paham dan langsung mencium kening Adit dengan berkata “Inikan yang kamu
maksud..., belajar yang rajin ya?”. “Siap bu” Kata Adit yang mengambil tangan
ibunya untuk bersalaman dan menciumnya lalu pergi meninggalkan ibunya dengan
perasaan hati yang senang.
Lalu setelah
mengantarkan anaknya ke sekolah, mulailah Ibu Siti berjualan jamu hingga sore
hari. Tak jarang jamu yang dibuatnya itu tidak laku, yang akhirnya diberikan
secara cuma-cuma ke tetangganya. Meskipun begitu dia tetap tabah dan bersyukur
atas anugerah yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Tak sedikit juga tetangganya
ikut membantu memberi sumbangan untuknya tapi dengan hati lembut dia menolaknya
dengan selalu berkata “Maaf Ibu, bukannya
saya menolak pemberian dari ibu tapi menurut pribadi saya sendiri, lebih baik
mencari uang sendiri meskipun sampai sakit daripada harus meminta-minta” .
Ketika Malam tiba Ibu
Siti mengantarkan anaknya mengaji di musholah dengan menemaninya hingga selesai
mengaji dan kembali pulang ke rumah. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul
21.00 WIB, dia pun menyuruh Adit untuk segera tidur agar besok tidak kesiangan.
Kencangnya angin malam dan nyamuk yang mulai berdatangan, Ibu Sitipun menebas
nyamuk yang mencoba mengerumungi anaknya hanya dengan sebuah buku. Sambil
mengipasi anaknya yang sedang tertidur pulas dia berkata dalam hati kecilnya ”Aku bersyukur telah diberi anugerah yang
besar dengan mempunyai anak yang patuh dan diberi ketabahan meskipun dia hanya
hidup di keluarga yang bisa dikatakan miskin tapi dia tetap bersyukur” .
Tetapi semua berubah
ketika suatu hari Adit berkata,
“Bu, lihat sepatuku sudah rusak, aku ingin mempunyai sepatu baru seperti
kepunyaan teman-teman, aku malu menggunakan sepatu yang bau dan sobek ini bu!.”
“Ibu sebenarnya mau membelikanmu sepatu baru, tetapi ibu masih belum punya
uang, kalau kamu mau punya sepatu baru, akhir bulan ini pasti akan ibu belikan”
kata Ibu.
“Tidak bu, aku maunya besok?”
“Tapi nak . . . ya sudah ibu usahakan”
Dengan perasaan hati yang resah dan gundah Ibu Siti berpikir mengenai dari mana
dia mendapatkan uang untuk membelikan sepatu anaknya, padahal uang yang
diperoleh dari menjual jamu hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari.
Keesokan harinya Ibu
Siti pun bekerja keras untuk membelikan anaknya sepatu baru dengan berjualan
jamu dari terbit hingga terbenamnya fajar tanpa mengenal lelah. Meskipun hujan
mulai mengguyurnya dia tetap bersikeras untuk tetap bekerja demi memenuhi
keinginan anaknya walaupun tubuhnya sudah mulai lemas dan terbatuk-batuk.
Hingga malam pun dia tetap bekerja dengan mencucikan piring dan baju
tetangganya.
Sepulang Adit dari
mengaji yang kali ini tidak di antarkan oleh sang Ibu, tiba-tiba Adit membuka
pintu dengan sangat keras dan berteriak mencari ibunya “Ibu...ibu dimana? Mana sepatuku
yang kau janjikan bu?”. Satu persatu dia membuka pintu dan ketika dia membuka
pintu kamarnya, dia terkejut ketika melihat Ibunya berbaring lemas yang
terbatuk-batuk dan menggigil dengan berselimutkan sarung kusut. Dengan perasaan
bersalah Adit berjalan menuju Ibunya dan terkejutlah dia ketika melihat sepatu
lamanya yang awalnya sobek dan sangat bau menjadi bersih, wangi dan sudah
terjahit rapi. Tak sadar dia tiba-tiba meneteskan air matanya dan ternyata Ibu
Siti terbangun, sontak Adit langsung memeluk erat ibunya dengan berkata “Maafkan
aku bu, yang durhaka ini telah membentak dan menyuruh Ibu demi membelikanku
sepatu baru dengan bekerja dari pagi sampai malam hingga Ibu seperti ini, Maaf bu?”. Lalu Ibu
Sitipun menjawabnya dengan terbatuk-batuk “Uhuk...uhuk, kamu tidak salah kok
nak, yang salah itu ibu, maafkan ibumu ini dit yang tidak bisa membelikanmu
sepatu baru, Ibu hanya mencucikan dan menjahit sepatu lamamu itu?”, ”Itu sudah
lebih dari cukup bu, terima kasih bu dan sekali lagi aku minta maaf?” kata
Adit. “Ya dit, sudah gak tidak masalah kok nak!” kata Ibu Siti sembari mencium
kening dan kedua pipi anaknya.
Akhirnya pada keesokan
harinya semua telah kembali seperti sedia kala. Ibu Siti yang mulai berjualan
jamu kembali yang tak lupa untuk mengantarkan anaknya sekolah dan mengaji,
serta Adit yang hatinya kini sedang bergembira walaupun tidak memiliki sepatu
baru seperti teman-temannya tapi Adit tetap bersyukur atas apa yang telah dia
miliki dengan hidup berdua bersama Ibu tercintanya yaitu Ibu Siti Si Penjual
Jamu dari Desa Kanigaran.